Barusan saya menemukan artikel yang di buat oleh Diego Batara di situs dapurletter.com. Artikel yang sangat bagus untuk para pecinta musik metal yang baru saja tau musik metal itu seperti apa.
Langsung aja ke artikelnya.
Saya menulis tulisan ini bukan sebagai pengamat musik, apalagi
seorang kritikus musik. tetapi saya menulis tulisan ini hanyalah untuk
menyuarakan rasa kepedulian saya terhadap realita-realita yang terjadi
pada komunitas metal negeri ini, khususnya kota Jakarta, kota dimana
saya lahir dan tinggal. Kondisi kota Jakarta semakin tidak terkendali,
masalah kemacetan, banjir hingga cuaca ekstrim seolah tidak berhenti
menggempur ibu kota kita yang konon lebih kejam dari ibu tiri ini.
Tidak sedikit dari anak muda kota ini yang membutuhkan sebuah “pelarian”
untuk melupakan sejenak semua masalah yang mereka hadapi di tiap detik
kehidupan mereka. Acara musik konon sudah menjadi salah satu “sarana”
pelarian yang paling diminati. Beda kalangan tentu acara yang didatangi
juga berbeda, bagi mereka yang rela menghabiskan uang orang tua demi
meminum sebotol Jack Daniels bersama kerabat dekat di dalam ruangan
sempit penuh tata cahaya dan diiringi musik dance gaya eropa dan
kroni-kroninya, sudah tentu klub malam di seputaran kemang dan menteng
lah yang mereka pilih. Tapi bagi mereka yang sudah muak dengan
kemunafikan dari gengsi insan-insan ibukota yang setiap hari selalu
menghantui kehidupan mereka, sudah tentu mereka memilih acara metal
sebagai tempat pelarian.
Disinilah sebenarnya yang banyak salah kaprah, banyak dari mereka yang baru mengenal acara metal (walaupun tidak semua)
hanya menjadikannya sebagai tempat pelarian dan ajang cari ribut, tanpa
peduli dengan musik macam apa yang mereka dengar, lyric macam apa yang
disampaikan pengisi acara kepada mereka. Dan yang lebih menyedihkannya
lagi, sebagian besar diantara mereka hanya menunggu “jebolan”
sebagaimana layaknya supporter sepak bola. Jika panitia tidak
memberikan apa yang mereka inginkan, mereka tidak segan-segan memaksa,
membuat onar atau apapun yang bisa membuat pihak panitia berubah
pikiran dan mengizinkan mereka masuk tanpa bayar, alias gratis. Alhasil
keributan pun sering kali tidak bisa dihindari dan aparat terkadang
harus memberhentikan acara dengan paksa.
Mungkin bedasarkan fakta-fakta inilah pandangan khalayak luas
terhadap komunitas metal selalu diidentikan dengan hal-hal yang
cenderung kasar, urakan dan tidak berkelakuan baik, tidak ada yang bisa
disalahkan, pandangan mereka terbentuk bedasarkan apa yang mereka
lihat. Dan pandangan khalayak luas bukanlah hal yang mudah untuk
dirubah. Tetapi sayangnya, mereka hanya menilai dari segelintir orang
yang sama sekali tidak mengerti mengenai musik metal yang selalu
menyuarakan isu-isu tentang perdamaian, kebebasan, kebersamaan dan
kritik-kritik sosial politik. Saya yakin bahwa mereka yang merusak
citra komunitas metal dimuka khalayak luas bukanlah anak metal sejati.
Mereka hanyalah kumpulan bocah-bocah ABG berpakaian hitam-hitam penuh
tatoo dan piercing yang datang ke acara metal bukan bedasarkan “panggilan jiwa”
, tetapi hanya bedasarkan gensi yang mengatasnamakan eksistensi. Jika
orang-orang seperti ini tidak pernah berubah, maka persepsi khalayak
luas terhadap komunitas metal pun tidak akan pernah berubah pula.
“Insan-insan underground kita sudah banyak berubah” begitu tanggapan kawan saya Janger (bukan nama asli). “
dan sebenernya bukan komunitasnya yang salah menurut gue, tapi
anak-anak yang baru kenal metal itu yang menurut gue harus lebih dewasa
dulu” begitu tambahnya . Janger dan saya berselisih umur cukup jauh.
Dia merupakan salah satu dari ribuan saksi hidup konser metallica di
jakarta pada tahun 1993. Dan Janger juga memberikan beberapa kesaksian
mengenai pengalaman pahitnya menjadi anak metal pada zamannya.
Kesaksian tersebut jelas tidak jauh berbeda dengan Kesaksian yang
dipaparkan oleh Andre Tiranda (Siksa Kubur) dan Arian 13 (Seringai)
Dalam film “Global metal” karya sutradara asal Kanada Scot
McFadyen dan seorang antropologist Sam Dunn. Bedasarkan kesaksian
mereka dalam film itu, seharusnya kita sudah bisa membayangkan betapa
tidak bebasnya perkembangan musik metal dizaman orde baru masih
mengendalikan kekuasaan penuh terhadap negri ini dan bagaimana sulitnya
perjuangan mereka membangun komunitas metal setelah rezim orde baru
digulingkan oleh gerakan mahasiswa pada tahun 1998. Kita juga bisa
melihat betapa pedulinya mereka mengenai keadaan-keadaan sosial politik
negri ini, yang selalu mereka suarakan melalui lyric-lyric dari musik
yang mereka sajikan.
Dan saya semakin tidak bisa membayangkan betapa sakit hatinya mereka
jika lyric yang mereka sudah tulis sepenuh hati tidak digubris oleh
anak-anak yang mengaku anak metal itu. Kita yang sudah hidup dizaman
reformasi ini seharusnya bersyukur atas kebebasan kita dalam
berekspresi, terutama dalam musik, pada saat kini kita bisa bebas
mengenakan pakaian hitam dan datang ke acara metal tanpa harus takut
difinah sebagai simpatisan komunis.
Oleh karena itu, kita yang mengaku sebagai bagian dari komunitas
metal harus menjalin kerja sama dengan individu-individu didalam
komunitas tersebut terlebih dahulu jika ingin merubah pandangan
khalayak luas. Berbeda dengan mengubah pandangan, menjalin kerjasama
bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan cara yang sederhana, seperti membeli tiket jika ingin menonton
acara yang akan diselenggarakan dan menonton serta memahami setiap
band-band yang akan tampil. Moshing memang dianjurkan tetapi tidak di
buntuti dengan perkelahian yang dipicu oleh hal-hal sepele, jika
kerjasama yang baik sudah dapat kita lakukan, bukan hal yang mustahil
pandangan khalayak luas terhadap komunitas metal juga akan berubah ke
arah yang lebih positif. Bahkan mungkin komunitas metal dapat dijadikan
standar kebersamaan yang patut dicontoh oleh setiap elemen masyarakat.
sumber: dapurletter.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar